Rabu, 29 September 2010

SEJAK KAPAN MENGENAI ALLAH?

Mengenai pertanyaan ini, perkenalan pertama dengan Allah Subhana wata’ala, tempat, cara menyaksikan-Nya dan saksinya adalah sebagai berikut:
dan (ingatlah), ketika Rabmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Rabmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Rab kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang¬orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah)". (Q.S al-A'raaf(7): 172)
1. Di mana dan Bagaimana Mengenal/ Menyaksi¬kan Allah
Posisi manusia dalam sulbi adalah sebuah proses akan diciptakannya manusia baru menjelang perpaduan antata ruh dan jasad dalam rahim ibu. Pada saat itu Allah mengambil syahadat (persaksian/sumpah) jiwanya (waasyhahadakhum a’laanfusahum) hal mana menunjukkan bahwa yang diminta syahadatnya adalah jiwa, sebab anfus dapat berarti jiwa atau ruh.
Tempat pengambilan syahadat jiwa adalah di alam jiwa itu sendiri, alam jiwa itu adalah bentuk alam ruh yang serba ghaib, tempat alam jiwa lain dengan alam rahim ibu.
Cara jiwa bersyahadat kepada Allah tentunya menurut tabiat jiwa itu sendiri, karena itu cara jiwa menyaksikan Allah pun secara kejiwaan.
Gambarannya dapat kita ambil contoh dari kalimat: yasyhadu manafi’u lahum "Agar mereka dapat menyaksikan
manfaat-manfaat."
Menyaksikan manfaat itu dapat dirasakan oleh jiwa, panca indera hanya menguatkan persaksian tersebut. Pengertian syahadat di sini adalah persaksian yang disaksikan oleh jiwa manusia. Begitu pula dalam hal menyaksikan Allah, jiwa merasakan benar adanya Allah; sebagai Rab dan panca indera membenarkan persaksian tersebut melalui hasil ciptaan Allah yang tampak. Persaksian jiwa tidak tergantung bentuk dan rupa obyek yang disaksikan, yang tergantung dengan obyek bentuk rupa itu hanya panca indera saja. Maka dalam hal jiwa menyaksikan Allah yang Maha Ghaib adalah jelas, sebagaimana jelasnya mata kepala menyaksikan bulan purnama.
2. Siapa yang Menjadi Saksinya?
Dalam surat al-A'raf(7): 172 di atas seluruh dhamir menunjukkan kata jama' hum: mereka, Kum kamu, naa kami, dan kalimat: durriyyat wa asyhaduhum a’la anfusihim alastu birobbikum qolu bala syahidna
Semuanya dikembalikan pada arti jiwa. Berarti syahadat jiwa sama-sama disaksikan oleh jiwa orang lain, dan itulah saksinya.
3. Kesimpulan
Kesimpulan semua jawaban di atas adalah, bahwa setiap orang telah mengenal Allah sebelum dilahirkan ke dunia, yakni tempatnya di alam jiwa (ruh), menyaksikan-Nya (Allah) secara kejiwaan dan syahadatnya disaksikan oleh jiwa jiwa(ruh) yang lain.
C. MENGAPA HANYA ALLAH SAJA SEBAGAI ILAH?
Mengenai jawaban tentang orang yang hanya berrsyahadat tauhid dapat kita ambil kesimpulan dalam surat ar-Rum(30): 30 sebagai salah satu jawaban tepat : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (ltulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, (Q,S. ar-Rum(30): 30)
Kalimat (wajhaka) mengandung arti wajah, muka,
pandangan. Perintah menghadapkan wajah menunjukkan telah sempurnanya jiwa dan raga orang dewasa di alam dunia, sebab perintah untuk ber-dien itu tidak ditujukan kepada orang yang cacat jiwa dan raganya, atau bukan ditujukan kepada anak-anak yang belum akil baligh dan orang yang sudah meninggal dunia.
Syahadat manusia kepada Allah sebelum dilahirkan ke dunia adalah telah menjadi bentuk fitrah setiap orang, karena Itu setiap orang yang telah lahir ke dunia terikat dengan fitrahnya itu sehingga setiap insan jika tidak menjadikan Allah sebagai Rab-nya tetap saja dia jadikan siapa pun sebagai Rab.
Maka Allah menurunkan pandangan Rububiyahnya sesuai dengan fitrah Allah pada setiap insan, hanya saja kebanyakan manusia sudah tidak tahu lagi terhadap syahadat yang pernah diikrarkannya sebelum dilahirkan ke dunia.
Orang yang menerima Dienullah itu tentulah disebabkan adanya orang yang mendakwahinya dan adanya faktor keyakinan terhadap seruan tersebut. Begitu pula sekarang, bagaimana pun kita semua tidak akan dapat ber-dien secara lurus/benar dengan sendirinya tanpa adanya para Waliyullah yang telah menyampaikan Risalah Tauhid hingga sampai kepada kita. Orang yang menerima Dienullah di dalamnya dijelaskan mengenai ajaran Tauhid, misalnya:

"Maka ketahuilah, bahwa tiada ilah kecuali Allah." (Q.S. Muhammad(47): 19).

Setelah mengetahui Tauhidullah tersebut barulah orang yang yakin segera bersyahadat untuk mengaku dan bersumpah atau bersaksi bahwa Allah saja sebagai ilah dan menolak selain-Nya.
Jika jawaban ini kita simpulkan dapat kita susun ngan kalimat:
"Karena saya meyakini kebenaran Ad-Dien yang sesuai dengan fitrah manusia ketika dakwah tersebut sampai kepada saya setelah dilahirkan ke dunia atau setelah akil baligh; yang di dalamnya menerangkan bahwa Tiada ilah kecuali Allah. Maka saya tidak ragu-ragu untuk menyatakan bahwa tiada ilah selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Rasulullah."
Demikianlah keterangan singkat mengenai Allah,yang wajib dipelajari bagi setiap muslim dan muslimat; sebagai keyakinan paling utama dan rukun iman yang pertama. Karena pemahaman dan keyakinan yang kuat terhadap ke-esaan Allah maka seperti Bilal bin Rabah sanggup menerima siksaan dari majikannya,dengan nafas terputus-putus beliau mengucapkan, Ahad….Ahad…Ahad…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar